topbella

Selasa, 21 Agustus 2012

Lukisan Kematian


Di kampung kami ada seorang pelukis yang unik. Dia hanya akan melukis wajah manusia yang telah sampai pada ajalnya. Orang kampung kami menyebut lukisannya: lukisan kematian. Ada juga yang menyebutnya: lukisan keabadian. Ada juga yang menyebutnya: lukisan kenangan. Sedang aku lebih suka menyebutnya: lukisan misteri kematian.
Dua hari yang lalu, seorang perempuan setengah baya memintanya membuat lukisan seorang lelaki yang sudah cukup tua, berkumis tebal, mengenakan kopiah warna hitam dengan ornamen tambahan yang mengantarnya menemui ajalnya. Ornamen itu berupa sebuah mobil yang ringsek sebab tertabrak truk tronton. Mobil itu berdiri gagah di samping lelaki yang tampak sedang tersenyum kecut. Senyum yang seolah-olah telah memisahkannya dengan perempuan setengah baya itu: istrinya.
Pada hari ketiga setelah lusa, perempuan setengah baya itu datang kembali, mengambil lukisan yang dipesannya. Dia gembira sekali sebab di dalam lukisan itu, suaminya tampak gagah seperti masa mudanya, laksana seorang laksmana. Berdiri di puncak kariernya menjadi manajer perusahaan di samping mobil dinasnya.
”Lukisan ini akan menjadi catatan sejarah bagi kehidupan dan juga akhir kejadian kematian suamiku,” katanya kepada pelukis itu. Pelukis itu tersenyum.
”Lho, tapi Mas, kok…….!” Perempuan itu kaget. Tiba-tiba seperti sadar dengan apa yang dilihatnya pada lukisan. ”Ini kok, mobilnya utuh?” Pelukis itu hanya diam. ”Saya kan memesan lukisan suami saya setelah kejadian. Sebab kecelakaan itu, mobilnya ringsek dan suamiku mati. Lukisan wajah suami saya yang gagah itu, benar, tetapi, ornamen mobilnya? Harusnya sudah ringsek.”
Dengan tenang, pelukis itu menjawab. ”Mudah kok, Bu. Kalau Ibu mau melihat ornamen mobil yang ringsek, pandang saja mobil itu, ringsek. Imajinasikan pikiran Ibu akan peristiwa kecelakaan itu, maka, mobil itu akan kelihatan ringsek sendiri. Tentunya, ya, dalam kacamata kenangan.”
”Apa cukup semudah itu?”
”Coba saja! Sekarang, enyahlah agak jauh dari lukisan! Lalu, pikiran Ibu harus difokuskan pada peristiwa kecelakaan itu.”
Setelah menjauh dari lukisan, perempuan itu tersenyum. Ornamen mobil itu dilihatnya ringsek betulan. Sebab imajinasinya yang tajam, atau keunikan lukisan? Entahlah. Yang pasti, pelukis itu telah membuatnya tersenyum, tanda puas.
Dua hari berikutnya, seorang lelaki datang padanya untuk mengambil lukisan pesanannya. Di dalam lukisan itu, ada seorang kakek yang berdiri gagah di sawah. Sebuah cangkul dipegangnya. Akunya, sawah dan cangkul adalah tempat terakhir yang dikunjungi kakek itu. Dan, kakek yang dipanggilnya ayah itu, menemui ajalnya di kamar, di kamar mandi, sepulangnya dari sawah.
”Parmin, Ayah mau mandi, lantas istirahat. Itu nanti, sawah diteruskan nyangkulnya, ya,” pintanya.
Eh, setelah itu, lama tak keluar-keluar, pintu didobraknya. Hatinya tersentak. Ditemuinya, Ayahnya telah tiada.
”Kenapa kamu mau mengabadikan gambar ayahmu?” tanya si pelukis.
”Ayahku adalah pahlawan dalam hidupku.”
”Ibumu?”
”Sejak kecil, aku tak punya ibu. Jadi, ibu hanya pahlawan dalam angan-angan,” katanya, lalu pergi.
Beberapa hari berikutnya, semakin sibuk ia melayani pesanannya. Bagaimana tidak? Lukisannya sangat mengagumkan. Lukisannya berkesan seperti nyata. Lukisannya menjadi kenangan yang terabadikan. Apalagi, ongkos pembuatan lukisan itu terbilang tidak mahal. Ia hanya ingin membagi apa yang bisa ia kerjakan, kepada sesamanya. Baginya, ya, dengan melukis. Ia tidak memasang tarif untuk sebuah lukisan yang telah diselesaikannya. Baginya melukis adalah sarana penyaluran imajinasi yang bercampur baur dengan carut-marut kehidupan. Seakan-akan ia mengerti apa yang diinginkan pemesannya. Meskipun begitu, justru, tak jarang, ia menerima uang lebih dari pemesannya. Mereka tampak merasakan kepuasan tersendiri atas garapannya yang mengagumkan.
Sebagai teman sebayanya, sering pula aku bermain ke rumahnya. Aku pun mengagumi kecanggihannya dalam melukis. Lukisan yang digarapnya berlatar belakang kematian. Memang, setiap kali ia melukis, lukisannya seperti nyata dan seolah-olah menyimpan sejarah yang bermakna.
Suatu waktu, aku berkesempatan untuk bertanya kepadanya. Lukisannya tampak hidup dan bugar. Mengagumkan. Seakan-akan, wajah-wajah kematian yang dilukisnya, hidup kembali. Ada ruh di dalamnya, menggetarkan jiwa setiap orang yang melihatnya. Maka, tak khayal kalau hanya dalam waktu beberapa bulan, reputasinya sebagai pelukis handal, mencuat sampai ke luar daerah. Bahkan, sampai lingkup antarkota. Namanya banyak dikenal massa.
Sarjo. Begitu, aku memanggilnya. Dulu, kami satu kelas, ketika belajar di bangku sekolah dasar. Menginjak lanjutan, ia merantau. Ketika aku mulai kuliah, ia pulang. Sejak itu, ia mulai berkecimpung dalam dunia lukis. Kabarnya, dari perantauan itu, ia belajar melukis. Ketika aku dilantik sarjana, orang tua satu-satunya; ayahnya, meninggal. Ia mengabadikan wajah ayahnya dalam lukisan. Ibunya, hanyalah angan-angan yang tak pernah bisa terungkapkan keberadaannya.
”Kenapa kamu tidak melukis keindahan alam saja?”
”Aku tak suka bersaingan dengan Tuhan. Biarkan orang itu melihat kenyataan saja. Alam yang diciptakan Tuhan itu lebih indah dan mampu mendekatkan hati seseorang kepada-Nya.”
”Tapi, kamu malah melukis wajah-wajah kematian?”
”Kenapa, emang?” Aku diam.
”Kuabadikan ayah dalam lukisan. Aku selalu mengingatnya, bagaimana laut itu membekukan darah dalam tubuhnya.”
Aku diam saja. Terharu.
”Kamu tahu?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala. ”Lukisan itu adalah pusara ayah. Aku selalu berziarah padanya. Aku kirimkan surat Al Fatihah kepadanya. Lukisan itu, pengganti pusara ayah di laut.”
Hampir, air mataku copot dan meleleh dari kebekuannya.
”Lalu bagaimana dengan ibumu?”
”Aku tak pernah mengerti bagaimana wajah ibu. Ayah hanya pernah bercerita, kalau aku ini anak jadah. Dan ayah tak pernah menjelaskan apa maksud ’anak jadah’ itu. Akhirnya, kukatakan kalau ibuku tak pernah ada. Ibuku sendiri adalah ayah. Dia yang mengasuhku sejak kecil. Maka, di dalam lukisan itu, ada ibuku juga. Ibu yang tampak hanya dari wilayah imaji rasa. Ketika aku mendoakan ayah, artinya aku pun mendoakan ibu.”
Sebab tak tahan, airmataku menetes. Sembab. Aku bersyukur, aku masih punya ibu. Masih punya ayah.
”Mengapa kamu menangis?” tanyanya heran. Aku diam saja. Lidahku kelu.
”Sudahlah. Aku telah terbiasa dengan itu. Makanya, aku suka melukis wajah-wajah kematian. Alasannya mudah saja. Aku ingin lukisan-lukisanku, menjadi pusara juga bagi mereka, mengingatkan mereka akan misteri kematian. Dan mereka akan banyak berziarah atau sekadar mengirimkan surat Al Fatihah, serta doa-doa kepada sosok di balik lukisan.”
”Mulia sekali niatmu.”
”Jangan memuji. Ini tak lebih indah dari mengorek sampah.”
”Maksudmu?”
”Tak ada nilainya.| Aku tersenyum. Dia pun tersenyum.
”Banyak sekali pesananmu sekarang?”
”Seperti yang kau lihat.”
”Boleh, aku melihatnya?” Dia mengangguk.
Lukisan-lukisan itu kulihat satu-satu. Lukisan pertama, seorang lelaki muda sedang duduk di taman, bersama seorang perempuan sebayanya. Lelaki itu memegang sebilah pisau. Dari kejauhan, aku melihat misteri kejadian kematian lelaki. Ditusukkannya pisau itu tepat ke jantungnya sendiri. Perempuan itu berbicara samar-samar. Bahkan, dia membiarkan kematian si lelaki. Pikirku, itu kisah ’cinta gila’, di mana perempuannya sama gilanya dengan lelaki, lelaki yang rela mati hanya untuk pembuktian cintanya.
Lukisan kedua, lukisan ketiga, lalu lukisan keempat, kulihat sebentar saja. Hanya dari dekat. Sebab, tiba-tiba aku merasa muak dengan kisah sejarah di balik gambar dalam lukisan. Pikirku, segala misteri dalam lukisan itu, semuanya memiriskan. Aku terlalu takut dan trauma.
Mendapati lukisan lain, aku tercengang. Lukisan itu dibungkus kain putih serupa kafan. Wajah dalam lukisan itu sendiri, seperti, aku telah mengenalnya. Warna kulitnya saja yang tampak terlalu putih, seolah-olah tak ada merah darah di dalamnya. Serupa jenazah. Kutatap lekat lukisan itu. Seperti sketsa lukisan yang pernah kulihat sebelumnya. Hanya ada wajahnya dan wajah laut. Aku ingat, lukisan itu seperti sebuah lukisan yang dianggap pusara olehnya. Lukisan ayahnya. Lukisan yang berlatar belakang laut. Apa artinya?
Kulihat sekeliling ruangan, dia telah tiada. Kupanggil dia, tak ada suara. Aku keluar ruangan. Keluar dari rumahnya. Berjalan menuju laut yang jaraknya terbilang dekat. Sepuluh menit aku sampai. Tak ada apa-apa. Laut sepi. Aku pulang ke rumah.
Aku menjadi khawatir sekali kepadanya. Jangan-jangan? Banyak tanda tanya berloncat-loncatan dalam pikiran.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kudengar ada berita menggemparkan dari laut. Aku berlarian menuju laut. Ada kerumunan orang di laut. Aku masuk ke dalamnya. Ada mayat. Ada mayat. Kulitnya putih sekali. Kulihat wajahnya. Aku tak sempat berpikir, semua akan berakhir di sini. Wajahnya? Oh, tidak…..!
Aku ingat sebuah lukisan. Lukisan itu seperti lukisan ayahnya. Lukisan itu pusara dirinya. Kuambil lukisan itu dan kupajang di kamar. Seperti yang pernah dikatakannya, ia sering mengirimkan surat Al Fatihah kepada ayahnya. Maka, aku pun demikian, akan menirunya.

Selasa, 14 Agustus 2012

Hujan yang Indah


 Jika Anda orang yang menyukai hujan, datanglah ke kotaku. Di sini dapat Anda saksikan hujan yang indah bak lukisan.
Aku tidak bohong. Di sini hujan turun seperti gadis kecil yang pemalu, tetapi selalu riang. Kadang kala kubayangkan hujan mengetuk-ngetuk bumi dengan kaki-kaki gadis kecil yang menari kian kemari. Aspal, trotoar, dan pepohonan basah tapi ceria turut menari bersama.
Di sini hujan sering turun dan, uniknya, hampir selalu hanya berupa gerimis. Sesekali saja terjadi hujan lebat dengan angin ribut atau geledek membentak-bentak di angkasa.
Apabila hujan turun, aku paling suka duduk dekat jendela sambil melipat tangan di meja. Kulayangkan pandangan ke luar sambil menyimak ketukan air tempias ke kaca. Dari jendela tampak dinding-dinding dan atap bangunan kuno di seberang jalan. Dalam kondisi kering, tembok dan atapnya tampak kelabu terang, tapi setelah dibasahi hujan, warnanya menggelap dan terlihat misterius, seakan-akan di dalam gedung itu ada makhluk-makhluk gaib yang bergentayangan. Pada bagian tertentu meruap juga nuansa merah bata yang asli, meski tidak mencolok. Bangunan itu ada sebelum aku dilahirkan dan seingat aku bentuknya tidak pernah diubah oleh pemiliknya.
Selain itu, yang kuintai manakala hujan tengah mempersembahkan baktinya kepada bumi adalah angkasa kelabu yang menggigil dan memuncratkan seluruh embun yang menggenangi permukaannya kepada bentang alam yang telentang pasrah. Pernah aku membayangkan langit sebagai dada perempuan yang berdegup dengan suasana batin seorang ibu yang prihatin dan bersedih. Dada yang subur. Dada yang telanjang, tetapi sensualitasnya terselubung oleh uap samar yang menenangkan. Kemudian dada itu berpeluh. Peluh yang menyembul melalui pori-pori dan melapisi kulitnya yang halus dengan genangan embun bening menebal. Ketika angin menepuk dada itu, genangan itu luruh menjadi hujan.
Aku pernah mengungkapkan gambaran tersebut kepada seorang teman, tetapi dia mencibir seraya berujar, ”Bukankah seharusnya dada memuncratkan air susu? Mengapa keringat? Lalu di mana keindahannya? Ada-ada saja kamu ini. Air susu adalah metafora bagi cinta seorang ibu. Mestinya kamu tahu, sengawur apa pun imajinasi, sepatutnya diperkuat logika—mungkin dalam ketidakmungkinannya.”
”Haruskah begitu?”
Dia tertawa, kemudian dengan gaya merenung yang dibuat-buat dia bersabda, ”Kamu ini naif sekali. Bergaya penyair, tapi tidak paham perkara remeh seperti itu.”
”Aku tidak bermaksud bergaya penyair.”
Temanku tersenyum dan kupikir itu senyuman orang jahat. Agar tidak menambah kesan jahat pada dirinya, aku tidak pernah lagi mengungkapkan apa pun yang melintas di benakku sebagai apa yang dia istilahkan ”buah imajinasi”. Anehnya, setelah hijrah ke luar negeri, dia lebih sering bertanya soal hujan kepadaku lewat telepon, pesan singkat, dan surat elektronik. Aku hanya menjawab sekenanya. Kemudian dia memprotes.
Protes itu dia lontarkan dalam obrolan via internet. Saat itu matahari tengah memancarkan cahayanya dengan murah hati. Akhir pekan yang cerah. Terlalu cerah malah.
”Dulu kamu sering berkomentar tentang hujan. Kau bilang indahlah, romantislah, begini, begitu. Sekarang kenapa kering ungkapanmu? Apakah sudah jelek hujan di sana sekarang?”
Uh, sinis sekali.
”Hujannya tetap seperti dulu.”
”Lalu?”
”Aku tidak bisa ceritakan. Kalau kamu mau tahu, pulanglah dan saksikan sendiri. Tak bisa kamu mencerap keindahan hanya lewat komentar orang lain.”
”Wah, hebatnya!”
”Salah sendiri, bertanya soal hujan pada saat matahari bersinar terang.”
”Oh, di sana cerah sekarang?”
”Ya.”
”Di sini beku. Kami dikepung salju seminggu penuh!”
Lambat laun kami semakin jarang berkomunikasi. Mungkin dia sibuk. Aku sendiri sibuk, ditambah kehadiran perempuan yang menjadi ibu bagi putra-putriku. Selanjutnya anak-anak mempersembahkan cucu-cucu untuk kami. Kawanku yang kadang-kadang menyebalkan itu tidak pernah mudik dan tanpa kabar lagi.
Kebiasaanku menikmati hujan tidak pernah berubah, meski tidak sesering dulu. Mungkin intensitas penikmatannya pun tidak sedalam dulu, entahlah. Sesekali aku masih keluar rumah ketika gerimis mulai turun, yang menimbulkan kejengkelan anak bungsuku dan menantu yang tinggal serumah dengan kami. Istriku sendiri tidak banyak cakap. Kukira dia sudah tahu tidak ada gunanya melarang aku menikmati hujan.
”Kalau Papa sakit bagaimana? Sudah tua masih suka keluyuran dalam hujan. Ini payung dan jas hujan.”
Kecerewetannya sungguh menjengkelkan.
”Apakah dulu aku pernah melarang kamu dan kakak-kakakmu berhujan-hujan?” begitulah aku pernah mengomel. Menantuku mundur dengan bijaksana, tapi putriku pantang menyerah.
”Iya. Malah dulu Papa cerewet sekali.”
”Apa iya?”
”Iya.”
Aku mengalah. Kuterima jas hujan parasut yang panjang selutut itu.
”Ini payungnya, Pa.”
”Tidak usah.”
Sempat kudengar gerutu putriku ketika aku membuka pintu dan melangkah, menyentuh tirai gerimis, ”Dasar keras kepala.”
***
Itu dulu, sebelum datang tahun-tahun yang ganjil ini.
Pada awal tahun masih kukagumi Januari dan Februari sebagaimana biasa, tapi bulan demi bulan berlalu dan genangan air mulai terbentuk di sudut-sudut kota, bantaran sungai, bahkan hingga di tengah kota. Kendaraan-kendaraan seperti berenang akibat banjir. Kini hujan bukan lagi sekadar gerimis yang menggemaskan bagai kanak-kanak, melainkan berupa curahan air terjun disertai petir dan angin ribut.
Sepanjang hari langit gelap dan mendung selalu mengurung berupa gumpalan-gumpalan hitam yang menakutkan. Aku tidak lagi berminat keluar rumah apabila hujan mulai tercurah. Yang kulakukan hanya duduk mematung di sisi jendela sambil membayangkan masa lalu yang tidak akan kembali. Walaupun demikian, aku tidak ingin berubah pikiran hanya karena perubahan iklim. Aku ingin mengenang hujan yang indah dalam benakku.
Tiba-tiba, petir membahana. Jantungku nyaris copot. Lantas atap berderak diterpa angin.
”Pakai mantel ini, Kek,” bisik cucuku dengan lembut. Senyumnya teduh. Sebentar lagi dia akan menikah. Alangkah cepat waktu berlalu. Kurasakan kantong mataku memberat.
Ketika mantel yang tebal dan lembut menyentuh kulitku, barulah aku menyadari bahwa aku menggigil kedinginan sejak tadi.

Selasa, 07 Agustus 2012

Terbukalah


Dalam diam aku duduk di taman ini. Di kursi yang sama tempat kencan kita pertama. Saat itu aku memakai celana jins berwarna abu-abu pudar, dan kaus berlengan panjang warna putih. Kau, waktu itu mengenakan celana jins biru tua dengan kaus berlengan pendek warna abu-abu. Kita duduk bersisian, saling bergenggaman tangan. Perlahan, kusandarkan kepalaku di bahu kirimu. Pandangan kita sama, mengarah ke depan ke beberapa remaja yang sedang bermain basket. Perlahan kau menundukkan kepalamu dan mengecup kuat keningku. Dan mengalirlah cerita tentang keluargamu.
Kau, tidak bercerita tentang dirimu. Kau, bercerita tentang ibumu. Kedekatanmu dengan ibu yang melebihi kedekatan dengan ayah. Bahkan hanya kau satu-satunya yang ibumu minta untuk meneteskan obat ke telinganya yang sedang sakit. Hanya pada dirimulah ibumu meminta diantar ke dokter, bukan kepada adikmu atau ayahmu. Keluargamu adalah dua kubu yang terpisah. Kau dan ibumu, adikmu dan ayahmu. Namun, kalian tetap baik-baik saja. Kalian telah terbiasa hidup seperti itu. Terbiasa dengan pertengkaran-pertengkaran kecil yang selesai dengan sendirinya. Manusia memang seperti itu, kataku. Kita hidup karena terbiasa. Kita membenci kemacetan jalan raya tapi tetap menerimanya. Karena itu bagian hidup kita. Kau terdiam seolah mengiyakan.
Taman ini baru pertama kali kau kunjungi. Sementara aku, sudah puluhan kalinya. Kau terlihat takjub dengan kencan yang kuciptakan. Kencan yang memang tak ingin kubuat lazim—ke mal, makan, nonton bioskop, jalan-jalan dalam ruang berpendingin, dan jika masih ada sisa waktu nongkrong di kedai kopi. Tidak. Aku ingin membuatmu terkesan. Ingin membuatmu merasa aku berbeda dari orang-orang yang selama ini pernah kau kenal dalam hidupmu. Aku tahu kamu sangat mudah berkeringat, hingga kau lebih merasa nyaman di ruangan berpendingin. Tapi, aku yakin, kau dengan perasaanmu padaku, akan mau mencoba mengikuti cara kencan ini.
Dan di kursi inilah kita berada saat itu. Melihat warna langit yang berubah perlahan. Menyaksikan terang beranjak gelap. Minum segelas air jeruk artifisial seharga seribu lima ratus rupiah. Mendengarkan suara pengamen yang bernyanyi di kedai makanan dekat taman. Saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Kau dengan keluargamu, dan aku dengan impian-impianku.
Kencan kita di taman mengawali sederetan pertemuan kita selanjutnya. Pertemuan yang tak melulu ideku. Kau, pada akhirnya terlihat lebih nyaman di ruang berpendingin yang kau anggap satu-satunya solusi untuk mengatasi ketidaknyamanan dirimu pada tubuhmu yang sangat mudah berkeringat. Namun, ada hal yang menyentuh hatiku yang kau lakukan untukku. Sewaktu aku menuju mal tempat kita akan bertemu, kau kaget sewaktu aku meneleponmu bahwa aku naik bus karena sulit menemukan taksi yang tidak berpenumpang. Aku turun di seberang mal dan saat menaiki jembatan penyeberangan, kau sudah ada di tengah jembatan dengan ekspresi khawatir. Tak kau pedulikan keringat yang membasahi wajah dan rambutmu. Rupanya kau setengah berlari dari mal untuk menjemputku. Kau segera memelukku dan berbisik bahwa kau khawatir karena aku naik bus kota. Saat itu kau begitu tampan dan manis meski wajahku ikut basah oleh keringatmu.
Kini di sinilah aku berada, di kursi taman yang sama sambil mengingat saat-saat bersama kita. Saat kita bercinta untuk pertama kalinya. Saat aku menyadari kenapa aku mencintaimu. Jawaban itu ada di matamu. Mata yang selalu terbuka saat kau menciumi sekujur wajah dan tubuhku. Mata yang lebih berbicara banyak hal dari yang terkatakan oleh bibirmu yang penuh dan lembap. Mata yang membuatku menyerah untuk menemukan semua penjelasan nalar.
Melihat dan terlihat oleh matamu, membuatku selalu telanjang. Seharusnya aku ngeri. Karena aku tak lagi memiliki selubung apa pun. Seolah kota tanpa benteng. Rumah tanpa pagar. Mata itu tak menyampaikan kata permisi. Langsung masuk melewati pintu utama, melintasi ruang tamu, tak memedulikan isi dapur, dan langsung masuk ke ruang tidur tempatku menunggu dengan kepasrahan bulat Ishak yang akan dikorbankan Abraham kepada Tuhannya.
Kau, lewat matamu, membuatku tak pernah bisa menolak. Banyak hal yang kautawarkan lewat mata itu. Tentang kebersamaan, tentang hidup tanpa beban, kebebasan tak berbatas, perjalanan ke ujung pelangi. Hanya ada kau dan aku. Berdua menyusuri setiap tepi impian. Ya, kaulah dunia fantasiku. Aku terbebaskan di duniamu.
Sesekali aku harus pulang ke dunia nyata. Saat itulah aku merindukan teramat sangat pada matamu. Sering kusengaja memejamkan mata untuk membayangkan saat-saat kita berciuman dan mata kita saling berpandangan. Kau membiarkanku masuk dalam dunia di dalam matamu. Saat aku merasakan ketiadaan gravitasi. Ruang angkasa yang tak berbatas.
Namun, kenyataan memang selalu mengempaskan kita kembali ke tanah. Terbanting keras hingga kadang membuat remuk. Tak peduli seberapa lamanya kita ingin bersama, kita harus berpisah. Kuharap untuk sementara, bisikku sambil mengecup pelan lehermu. Kau terdiam, bibirmu mengerut cemberut. Dan kau pun terpejam, tak membiarkan matamu menyaksikanku pergi.
Aku tak pernah pergi. Bahkan meski itu hanya untuk beberapa hari. Bagaimanapun demi pertemuan kita selanjutnya, aku tak ingin membuat pasanganku jadi bertanya-tanya jika aku pergi lebih dari satu hari. Ada peran berbeda yang harus kujalankan. Seperti seorang aktris panggung yang tak bisa menolak peran yang disodorkan sutradara. Demi kepuasan penonton, aku harus menjalankan peran itu hingga selesai.
Sering kali saat aku menjalankan peranku, kubiarkan pikiranku melayang menciptakan imajinasi tentang kita berdua ketika semuanya mungkin berbeda. Aku bisa dengan mudah mengunjungi rumahmu, mungkin bertemu dengan ibumu, berbincang dengannya tentang masa-masa kecilmu. O ya, mungkin dia akan memperlihatkan foto-fotomu sewaktu kecil. Siapa tahu dia akan berkisah tentang kesedihan dan kekhawatirannya sewaktu tanganmu patah hingga menyisakan segaris bekas jahitan panjang di lengan kirimu. Dalam hati aku akan berkata kepada ibumu, aku sering mengecup bekas luka anakmu untuk meringankan sakitnya. Ada benang jahitan yang masih tertinggal dan membuatnya nyeri setiap kali sikunya terbentur. Tapi, hal itu tidak kukatakan padanya. Aku tahu dia bakal lebih banyak berpikir nantinya. Tak baik untuk kesehatan sarafnya.
Atau bisa juga aku akan menemani ayahmu berkebun. Mungkin membawakan sekop atau sekadar bercakap-cakap dengannya ketika dia tengah mencabuti rumput liar. Siapa tahu dia akan bercerita bahwa sedingin apa pun sikapnya padamu, dia selalu mengkhawatirkanmu. Bahwa di balik kemarahannya, dia begitu sedih saat kalian bertengkar dan melihatmu menggenggam pisau. Bahwa sebenarnya dia bangga terhadapmu sekarang. Dengan pekerjaanmu, dengan cara kamu membantu keuangan keluargamu, dan cara kamu merawat ibumu.
Bisa jadi aku akan memiliki waktu ngobrol dengan adikmu. Yang sebenarnya mengagumimu diam-diam. Jika tidak, mana mungkin dia sampai meminjam kausmu dan sepatumu tanpa izin? Kau begitu marah setiap kali adikmu meminjam barang-barangmu. Kau yang begitu rapi, memang sangat berbeda dengan adikmu yang terkesan sembarangan. Namun, tahukah kau, dia sebenarnya segan terhadapmu, dengan cara yang belum kaumengerti.
Kubayangkan aku mungkin akan memasak untuk seluruh keluargamu. Tumis spaghetti daging asap dengan irisan cabe rawit yang kausukai. Atau garang asem ayam yang akan sangat mudah kubikin karena aku tinggal memetik belimbing keris di halamanmu untuk menciptakan rasa asam yang segar. Dan saat semuanya terhidang, aku akan menunggui kau dan keluargamu untuk mencicipinya terlebih dahulu dan merasakan gelenyar hangat di dadaku ketika mereka menyukainya. Saat itu kau akan mengecup keningku dengan rasa bangga dan sayang tak terkira.
Tahukah kau, semakin hari aku semakin merasa ilusi itu semakin mendesak ke permukaan. Bergerak seolah magma yang menyusup celah-celah kerak bumi mencari kepundan yang siap meletuskannya. Aku sekuat tenaga mencoba menahan lava itu untuk tetap berada di dasar bumi. Entah untuk berapa lama.
Suatu hari aku mulai menyadari matamu mulai terpejam. Kau menciumku dengan mata terpejam. Kau memejamkan matamu saat menyentuh sekujur tubuhku, saat mengelus rambutku, saat mengecup leherku, saat tubuhmu menegang, mengeratkan pelukanmu. Kau menutup matamu.
Saat kau membuka matamu, labirin yang biasa kutelusuri tak lagi sama. Dulu, labirin itu tak pernah menyesatkanku. Labirin itu menuntunku menyusuri kelokan-kelokan yang kukenal, menuju sebuah taman yang sama tempat kencan pertama kita. Hanya saja taman itu tak berpenghuni. Lebih hijau, lebih sejuk, hingga tak membuatmu berkeringat. Di taman itu kita duduk di bangku yang sama, saling bergenggaman tangan, dan aku selalu duduk di sebelah kirimu. Kusandarkan kepalaku di bahu kirimu. Tangan kiriku perlahan mengelus bekas luka di lengan kirimu. Kita sama-sama terdiam. Sunyi. Hening. Hanya bunyi napas kita di taman itu.
Kini labirin itu tak mengantarkanku ke mana pun. Aku berusaha menyusuri setiap kelokan, tapi tak kunjung kutemukan taman itu. Labirin ini memerangkapku. Tersesat membuatku sesak napas. Aku tersengal.
”Kau sakit?” tanyamu sambil membelai pipiku.
Aku menggeleng. Aku kembali berusaha melihat matamu. Namun, aku kembali mengalami kejadian yang sama. Tersesat dan tak bisa bernapas.
”Ingatkah kau dengan taman tempat kita berkencan pertama kali?” tanyaku.
Kau mengangguk.
”Itu saat terindah buatku,” kataku.
”Buatku juga, Sayang,” ujarmu sambil mendaratkan ciuman di bibirku. Dengan mata terpejam.
Dalam hati, aku berteriak. Terbukalah! Aku ingin kau memandangku seperti dulu lagi. Aku tak tahu siapa yang ada di matamu jika kau terpejam seperti itu! Biarkan hanya aku yang kau lihat.
Namun, kau tetap terpejam.
”Maukah suatu hari kita kembali ke taman itu?” tanyaku.
Kau mengangguk.
Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di bangku yang sama di taman tempat kita pertama kali berkencan. Sore ini tak ada remaja-remaja yang bermain basket. Namun, masih ada penjual minuman air jeruk artifisial yang dulu. Kulihat ada seorang lelaki 40 tahunan yang mengajak seekor anjing husky berjalan-jalan. Lihatlah, anjing itu begitu besar dan sepertinya jinak.
Di bangku ini, aku duduk dengan kedua tanganku berada di atas pangkuanku. Kali ini aku tidak memakai celana jins abu-abu dan kaus lengan panjang warna putih. Aku memakai rok terusan warna biru pucat. Perlahan kubuka kedua tanganku yang sedari tadi tergenggam.
”Lihatlah, Yank. Taman ini masih sama seperti dulu. Kau lihat sendiri kan, penjual minuman itu masih sama. Kali ini tidak ada yang bermain basket. Pengamen di sana masih bernyanyi seperti dulu,” ujarku perlahan. Kupandangi kedua telapak tanganku yang basah bersimbah darah. Menetes hingga menodai kain rokku. Di situlah, di kedua telapak tanganmu, kuletakkan matamu. Terbuka utuh. Sepenuhnya. Hanya memandangku dan memandang taman kita berdua.

About Me

Foto Saya
Diana Putri Maharani
Madiun, Jawa Timur, Indonesia
I become a better writer by writing. I become a better travel writer by writing about travel. I'm addicted to ice cream and chocolate.
Lihat profil lengkapku