topbella

Kamis, 14 Maret 2013

Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus...

"Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini."
Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang mengandap perlahan-lahan di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar sungai? Oh Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat senja itu dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang sebelum stasiun Kebasen?

Sepanjang angin akan berembus, selalu ada cerita tentang wanita kesepian, senja yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar, lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya gemuruh kereta ketika melintasi jembatan itu bisa terdengar hingga ke batas langit, atau ke dasar sungai.

"Aku melihat senja, lalu memikirkanmu." Ucap seorang wanita pada kekasihnya. Di sore yang cerah, di tepi jembatan kereta. Keduanya duduk menjuntaikan kaki ke bawah, meikmati embusan angin dan melihat kendaraan berlalu-lalang di jalan berkelok ke arah kota Purwokerto.

Di Serayu, panggung seperti disiapkan. Lelaki itu masih menunggu senja yang dimaksud si wanita. Seakan ia tak pernah melihat bagaimana bentuk senja semenjak ia lahir, meski tentu senja pernah melihat lelaki itu, entah di mana.

"Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali melihat senja?" tanya wanita itu.

Si lelaki tak menjawab, toh sebentar lagi wanita itu menjawab pertanyaannya sendiri.

"Karena senja seperti dirimu, pendiam, tapi menyenangkan."

Nah.

Serayu, serupa apakah kenangan dalam bungkusan senja yang konon lebih luas dari aliran sungai Gunung Slamet menuju pantai selatan itu?

"Aku tetap suka berada di sini meski kau diam saja."

Begitukah?

Lelaki itu memang masih diam.

"Kalau tidak ada kamu, pasti senja membuatku merasa ditimbun kenangan."

Sepanjang angin berembus, wanita itu terus berbicara. Tapi hari masih terang, burung-burung terbang rendah di atas mereka, tak beraturan. Belum waktunya pulang, beberapa burung kecil duduk di besi jembatan, kemudian terbang lagi. Senja belum datang, dan kereta juga belum datang.

"Benarkah ada kereta yang selalu datang ketika senja?" tanya lelaki itu. Mungkin ia gusar dengan keheningannya sendiri.

"Tentu saja."

"Kereta apa? Kereta senja?"

"Ah, bukan. Jangan terlalu klise, Sayang."

"Lalu?"

"Hanya kereta, dengan gerbong-gerbong penumpang seperti biasa. Itu saja."

"Pasti ada namanya. Bahkan kereta barang yang mengangkut minyak pun ada namanya."

"Ketel maksudnya?"

"Ya."

"Kalau begitu, anggap saja ini kereta kenangan."

Kenangan lagi. Seperti diksi yang luar biasa picisan, namun kadang sepasang kekasih bisa mengorbankan apa saja untuk sesuatu yang picisan, bahkan pembicaraan selanjutnya seperti tak akan menyelamatkan mereka. Kecuali waktu yang terus susut, jam terpojok ke angka lima. Tapi senja belum turun, belum ada kereta yang melintas di belakang mereka. Alangkah dekatnya mereka dengan rel kereta. Sehingga bisa terbayang jika kereta melintas pasti tubuh keduanya ikut bergetar karena roda besi yang bersinggungan dengan rel baja itu.

"Mungkin kita harus pindah tempat, sedikit menjauh." Ucap lelaki itu.

"Tidak. Dari sini kita bisa melihat senja."

"Tapi ini terlalu dekat."

"Tapi kalau kau pindah, nanti aku susah memikirkanmu dalam bentuk yang seperti ini."

Tentu saja.

***

Serayu. Sungai besar yang teramat sabar, aliran air memanjang sampai ke penjuru ingatan, ke palung kehilangan, ke laut kasmaran. Sesungguhnya ada banyak cerita di Serayu. Bukan hanya sepasang kekasih yang duduk di besi jembatan untuk menunggu senja, tapi juga kisah-kisah lain manusia, seorang lelaki yang mendayung perahu ke tengah demi mencari ikan, atau sawah-sawah di kejauhan yang tampak menghampar dan hanya terlihat topi-topi petani. Semua itu adalah cerita. Tapi pemandangan Serayu, senja, dan sepasang kekasih mungkin akan menjadi cerita yang paling dramatis. Bisa saja sepasang kekasih itu pada akhirnya akan berpisah, tapi masing-masing dari mereka tak bisa menghilangkan kenangan ketika duduk berdua di jembatan Serayu untuk melihat sesuatu yang setengah tak masuk akal. Seakan-akan mereka sedang mengabadikan cinta dalam hitungan detik terbenamnya matahari. Lalu pada suatu waktu si lelaki akan sengaja kembali ke tempat itu, duduk di sana, demi mengenang wanita itu. Meski mungkin si wanita tak kembali, sebab ia merasa tersakiti jika harus melihat senja di sungai itu lagi.

Tetapi, kereta akan tetap melintas, tepat ketika senja, ketika matahari bundar di ujung sungai yang luasnya sekitar 300 meter.

Ya, sebentar lagi, sebuah kereta penumpang akan melintasi sungai itu. Serayu. Sungguh nama yang romantis, seorang masinis yang bertugas di kereta itu sedang membayangkan kereta yang dikemudikannya sebentar lagi melintasi jembatan, lalu ia akan membunyikan peluit lokomotif keras-keras, nguooongngng, hingga ia pun teringat dengan kekasihnya di masa lalu; seorang wanita penggemar kereta dan senja.

"Aku ingin kelak kau menjadi masinis, dan membawa kereta yang melintasi Sungai Serayu tepat ketika senja."

"Kau ingin aku jadi masinis?"

"Ya."

"Artinya aku akan selalu pergi."

"Aku masih bisa memikirkanmu."

"Jadi, cinta sudah cukup sempurna jika kita masih bebas memikirkan orang lain?"

Sepanjang angin akan berembus, pertanyaan seperti itu seolah tak ada gunanya.

Kereta terus melaju, sudah jauh meninggalkan stasiun Notog, memasuki terowongan, lalu menebas hutan yang penuh dengan pepohonan pinus. Baru saja kereta melintasi jalan raya, yang artinya semakin dekat dengan Serayu. Masinis itu tak mengurangi kecepatan, sesaat ia menoleh lewat jendela, melihat ke gerbong-gerbong di belakangnya. Bukan gerbong senja, tentu saja, bukan pula kereta kenangan seperti yang dinamai kekasihnya di masa lalu. Ini hanya kereta biasa.

Jembatan sudah terlihat di kejauhan. Masinis itu perlahan menarik rem, sedikit mengurangi kecepatan di tikungan terakhir sebelum melintasi Sungai Serayu. Dan beberapa saat kemudian, tampaklah hamparan hijau itu, juga perasaan yang tak ada maknanya lagi.

"Sepanjang angin berembus, akankah kau merindukanku?"

Ah, rindu memang seperti paksaan. Ketika kereta semakin dekat ke jembatan Serayu, si masinis melihat sepasang kekasih yang sedang duduk di salah satu sudut jembatan itu, mereka melambai ke arah kereta, seakan tak peduli dengan kebisingan mesin lokomotif dan suara roda yang bergesekan dengan rel serta besi jembatan. Masinis itu membalas lambaian mereka. Sementara di bagian bagian kanan, warna merah pada langit dengan lapisan awan tipis membentuk garis-garis menggumpal yang artistik dengan warna merah saling tindih.

Masinis itu tertegun, seperti itukah senja yang dahulu pernah didambakan kekasihnya?
Namun belum selesai kekagumannya, tiba-tiba kejadian aneh terjadi, mesin lokomotif kereta itu mendadak mati, tenaga menurun drastis, kereta pun berangsur-angsur mengurangi kecepatan dan akhirnya berhenti tepat di tengah jembatan, tampak dari barisan jendela, para penumpang di dalam gerbong terkejut, penasaran ada apa, mengapa berhenti di tengah jembatan. Apakah kereta tertahan sinyal masuk sebuah stasiun? Atau ada kejadian luar biasa di depan? Tapi kadang kita tak butuh jawaban untuk sebuah kenangan yang magis, bukan? Kereta itu, barangkali pernah memiliki kekasih pula, yaitu kereta lain yang selalu mengingatkannya tentang senja di mana pun ia melaju, agar berhenti sebentar untuk mengingat ucapan kekasihnya :

"Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini."

Selasa, 18 Desember 2012

Tart di Bulan Hujan


”Ternyata harganya tiga ratus tujuh puluh lima ribu, Pak,” kata Sum kepada lakinya, Uncok.
”Barang apa yang kau bicarakan itu, kok mahal amat?” bertanya suaminya.
Lho, musim hujan tahun lewat dan sebelumnya juga, kan, saya bilang, Pak, roti yang diberi gula yang berbentuk bunga mawar itu harganya tiga ratus lima puluh ribu. Roti itu besar, cukup untuk satu keluarga dengan beberapa tamu. Tapi, sekarang naik dua puluh lima ribu,” Sum mencoba menjelaskan. Lakinya tetap tak paham. Ia menarik rokok sebatang dari bungkusnya dan mencoba menyalakan korek.
Ngerokok lagi,” tiba-tiba Sum sedikit membentak. ”Apa enggak bisa uangnya sedikit disimpan untuk tambahan beli roti.”
”Beli roti bagaimana?” Uncok gantian membentak. ”Kau ini edan, ya. Nyediain nasi aja susah, kok beli roti mewah kayak gitu. Itu makanan menteri, bupati, dan wali kota serta para koruptor. Tahu?! Kita makan nasi ajasama sambal…. Kamu itu mimpi….” Lakinya menegaskan.
Tiba-tiba sepi. Di langit ada mendung yang memberi sasmita akan hujan. Kilat sesekali menggebyar. ”Rumah kita masih bocor,” kata Uncok lagi sambil mendongak. ”Belum bisa beli plastik tebal penahan tiris. Kok kamumikirin roti tart yang, buat kita, harganya triliunan rupiah. Edan kau itu!”
Sum diam. Tak mendengarkan omelan suaminya. Bayangan di depan matanya sangat jelas: tart dengan bunga-bunga mawar, dengan tulisan Happy Birthday. Betapa bahagianya anak yang diberi hadiah itu. Sum sendiri belum pernah mendapat hadiah seperti itu, apalagi mencicipi. Tapi, alangkah lebih bahagia ia jika bisa memberikan sesuatu yang dinilainya luar biasa, betapa pun belum pernah menikmatinya.
”Kurang beberapa hari lagi, Pak,” kata Sum memecah kesunyian.
”Apanya yang kurang beberapa hari lagi?” Uncok membentak. ”Kiamatnya apa gimana? Kita memang mau kiamat. Hakim, jaksa, polisi, pengacara, menteri, anggota DPR… nyolong semua. Dan kau malah mau beli tart lima triliun. Duitnya sapaNyolong? Tak ada yang bisa kita colong. Ngerampok? Kau punya pistol atau bedil? Enggak! Kau cuma punya pisau dapur dan silet untuk mengerok bulu ketiakmu….”
Sum tak menyahut. Pikirannya masih melanglang ke toko roti. ”Kita bisa naik bus Trans Yogya Pak, aman. Enggak ada copet. Pulangnya naik becak aja. Kita harus hati-hati bawa tart sangat istimewa itu, Pak. Ah, si bocah itu pasti seneng banget.… Kalau dia bisa seneng, alangkah bahagia diriku.”
Kedua tangannya dilekatkan pada dada dan membentuk sembah, menunduk. Tuhan, bisik Sum, perkenankan saya membeli tart untuk ulang tahun si anak miskin itu. Ia lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Saking kepinginnya beli tart, seakan ia hendak menangis. Matanya terasa basah.
Kemudian hujan pun rintik-rintik. ”Naaah, mau hujan,” kata lakinya. ”Pindah-pindahin bantal-bantal. Jangan biarkan di situ, tempat tiris deras….” Uncok memberi komando. Sum tenang saja.
”Biarkan tiris membasahi rumah,” kata Sum. ”Itu rezeki kita: air,” sahut Sum.
Uncok tak tahan. ”Kamu kok semakin edan,” lakinya membentak. Malam merambat larut. Tidak diketahui dengan pasti apakah malam itu jadi hujan atau tidak.
***
Gagasan beli tart dengan bunga-bunga mawar itu sudah lama muncul di benak Sum. Dua tahun lalu. Waktu itu Bu Somyang Kapoyos, rumahnya di Surabaya, menginap lima hari di Yogyakarta karena urusan disertasi. Ia membawa putranya. Dan tepat satu hari kemudian, ia teringat ulang tahun anaknya. Cepat-cepat ia berganti pakaian, memanggil taksi dan meluncur ke toko roti Oberlin. Ia pun membeli tart ulang tahun dengan tulisan Happy Birthday dengan lima lilin menyala. Ketika kembali ke home stay, Sum, yang sedang menyapu lantai, melihat roti itu. Tergetar. Astaga, indahnya. Lilinnya menyala, seperti menyala dalam hatinya.
Aku harus beli tart itu, buat si bocah, saat ulang tahunnya di bulan hujan nanti, gumamnya.
”Berapa harganya, Bu?” tanya Sum.
”Tiga ratus lima puluh ribu,” jawabnya.
Astaga! Gaji Sum kerja di home stay hanya dua ratus lima puluh ribu sebulan. Kalau ada tamu, ia memang sering mendapat tip, tetapi cuma cukup buat beli soto Pak Gareng tiga ribuan. Ia masih harus memikirkan seragam anaknya. Suaminya, yang sopir bus, tak selalu bisa bawa uang cukup. Jalan makin padat. Motor jutaan memenuhi jalanan. Sering macet. Kadang harus cari jalan lain. Perjalanan makin panjang. Artinya bensin boros, padahal bahan bakar mesti dibeli sendiri.
Tapi aku harus beli tart itu, gumamnya. Buat si bocah. Di ulang tahunnya di bulan hujan. Ia bakal senang. ”Oh, enggak begitu mikirnya. Tapi gini: semoga ia senang. Tuhan, perkenankan ia senang menerima persembahan roti dari saya,” gumamnya lagi. ”Tuhan, saya butuh sekali bahagia dengan melihat si bocah bahagia.…”
”Di mana tokonya, Bu,” tanya Sum lagi.
”O, deket toko onderdil motor itu,” jawab Bu Somyang, ”Kamu mau beli?” tanyanya.
Sum mengangguk.
”Anakmu ulang tahun?” desak Bu Somyang.
”Buuukan anak saya, tapi kalau dianggap anak saya, ya enggak papa,” jawab Sum.
”Oooo, anak yatim piatu di panti asuhan yang kamu pungut?” Bu Somyang mendesak.
”Bukan, enggak,” jawab Sum.
”Ah, Sum aku tak paham. Tapi, aku ingin ingatkan kalau untuk anak-anak gelandangan, ya enggak usah tart kayak gini. Cukup beberapa potong roti santen apa roti bocongan atau roti teles yang seribuan ditambah minuman dawet. Itu pun tiap gelas cendolnya lima belas atau enam belas biji saja. Kalau anak-anak dibiasakan makan-minum yang mewah-mewah, kurang baik. Bisa tuman, ketagihan.”
Sum diam. Jantungnya terasa tertusuk oleh kata-kata yang diucapkan karena ketidaktahuan. Sum menunduk. Beberapa tahun silam pernah seorang penyair diminta berkhotbah di gereja. Ia berkata, malanglah dia orang yang tak tahu kalau ia tak tahu, hina dan sakit orang yang tak paham kalau ia tak paham. Kata-kata itu mendengung kembali di telinganya ketika ia menatap mulut Bu Somyang yang mengerikan.
”Aku harus membeli tart itu, apa pun yang terjadi,” gumam Sum. ”Apa pun komentar orang aku tidak peduli. Aku hanya ingin si bocah bahagia pada hari ulang tahunnya. Selama bertahun-tahun aku menyaksikan perayaan ulang tahun si kecil, belum pernah ada yang membawa tart. Padahal, kalau mau, mereka bisa beli. Kebanyakan tamu yang datang sedikitnya naik motor, malah ada yang naik mobil. Heran! Bagaimanakah pikiran orang-orang itu.”
Dua minggu setelah menyaksikan tart yang menggetarkan, Sum memutuskan menabung. Ketika dikonsultasikan, Ketua Lingkungan menyarankan agar Sum menabung di bank. Tapi, Pak Karta Wedang memberi tahu bahwa bank kadang-kadang tak bisa dipercaya. Uang para nasabah dibawa lari oleh petugas bank sendiri dan bank tidak bertanggung jawab. ”Oooo, gitu…,” kata Sum, ”Lalu, enaknya gimana, ya?” Pak Karta tidak menjawab.
Akhirnya, Sum memutuskan menabung di rumah sendiri. Ia merencanakan menyisihkan uangnya lima belas ribu setiap bulan. Kalau ia sukses lebih menekan kebutuhan, setahun, kan, seratus delapan puluh ribu. Dua tahun, kan, tiga ratus enam puluh ribu. ”Horeeeee! Dua tahun lagi, aku bisa beli tart buat si kecil. Dan masih sisa sepuluh ribu.” Hatinya bersorak-sorai….
Dan pada bulan hujan tahun ini, kegiatan menabungnya hampir genap dua tahun. Ia tak sabar lagi. Tapi, alangkah kecewa ketika ia menengok di toko roti Oberlin, tart yang dibayangkan sudah naik harganya. Ia sedikit lemas. Ia menjadi pucat. Dan pandangannya berkunang-kunang.
”Ada apa Bu, sakit?” tanya pelayan toko. Sum menggeleng. Ia berkeringat dingin. Punggung terasa sedikit basah, tetapi keleknya terasa basah sekali.
”Ibu mau beli roti?” desak pelayan toko.
”Ya,” jawab Sum sangat pelan hampir tak terdengar. Apalagi lalu lintas hiruk-pikuk.
”Mau beli,” pelayan mendesak.
”Iyaa,” jawab Sum. Pelan sekali.
”Yang mana?”
Sum menuding tart mahal itu.
”Haaah?” Pelayan toko kaget sambil memandangi penampilan Sum.
Sum lemas. Bagaimanapun masih ada kekuatan.
”Tapi tidak sekarang,” Sum menegaskan.
”Oooo, kamu disuruh majikanmu lihat-lihat harganya, begitu?” Sum menggeleng.
”Saya mau beli sendiri. Saya sudah menabung. Tart itu untuk si bocah.”
Pelayan toko tak paham, dan mulai curiga. Karena itu, dengan cara halus, ia menggiring Sum ke luar toko. Perempuan itu melangkah ke luar.
”Masih ada waktu,” gumamnya. ”Aku akan buruh nyuci di kos-kosannya Pak Nur Jentera. Pokoknya, bulan hujan tahun ini aku harus beli tart untuk si kecil. Aku ingin sekali merasakan bahagia ketika bocah itu bahagia. Kalau aku sudah berhasil membeli tart untuk si bocah, aku lega banget. Aku rela mati. Kalau yang aku lakukan dianggap keliru oleh sidang malaikat dan aku harus masuk neraka… ya enggak papa. Aku tetap bahagia di neraka. Ya, mati dengan bahagia sekali karena sudah bisa mempersembahkan roti tart di bulan hujan. Di minggu hujan. Di malam hujan,” gumamnya.
Tiba di rumah, ia langsung mengambil uang tabungannya yang disembunyikan di dalam lemari, di bawah pakaian. Kurang empat puluh lima ribu, gumamnya sambil menghitung uang receh. Ia ingat, ia harus membeli nasi buat anaknya, si Domble. ”Tapi kalau aku berhasil nyuci pakaian di kos-kosan Pak Nur Jentera, semua bakal beres. Slamet bilang, Pak Jentera baik banget sama orang duafa. Beda banget dengan Wak Zettep yang pelit banget dan tukang mempermainkan orang.” Sum menunduk. ”Tuhan, biarkan saya percaya bisa membeli tart untuk si bocah.”
***
Esoknya sudah mulai memasuki bulan hujan. Ia pun menghitung hari. Di lingkungannya, warga sudah sering kumpul-kumpul menyiapkan pesta ulang tahun. Di gereja banyak pengumuman tentang kegiatan menyongsong pesta itu. Sum tak pernah diajak. Alasan ibu-ibu kaya, Sum, kan, sibuk bantu rumah tangga sana-sini. Mana ada waktu buat gini-gini. Di samping itu, kalau ia diajak, Sum selalu merasa tak pantas duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan mereka. Sum selalu merasa dirinya orang duafa yang tempatnya di pinggiran.
Dengan senang Pak Jentera menerima Sum. Tampaknya, lelaki itu terpesona dengan cara kerjanya yang cekatan. Karena itu, tak ragu-ragu ia memberi Sum upah tambahan, bahkan boleh dikatakan setiap hari. Maka, sebelum saat pembelian tart tiba, di tangannya sudah ada uang cukup. Bahkan lebih. Sementara itu, Bu Jentera juga luar biasa perhatiannya. Sekali ia memanggilnya ke rumah.
”Kamu mau pesta apa pada natalan nanti.”
”Ah, enggak pesta kok, Bu, cuma mau beli tart,” jawab Sum.
”Tart? Tart? Siapa yang ulang tahun? Anakmu?” Bu Jentera kaget dan bertanya setengah mencecar. Tapi Sum tetap tenang.
”Bukan anak saya Bu, tapi kalau dibilang anak saya, ya enggak papa,” jawab Sum.
”Ooooooooo, anak pungut? Di panti asuhan dekat rumah Wak Zettep yang terkenal pelit itu?” Bu Jentera bertanya lagi.
”Enggak, bukan… dia anak baik-baik, sangat baik… cantik sekali, pandangan matanya menggetarkan,” jawab Sum.
”Ah, aku tak paham,” kata Bu Jentera.
Lho, kata-kata Bu Somyang di ulang di sini, gumam Sum.
”Tapi baiklah,” kata Bu Jentera lagi, ”kalau mau beli tart, ya, yang baik sekalian,” sambungnya.
Wuuuah, luar biasa ibu ini, kata Sum dalam hati.
”Nih, aku ngiur dua ratus ribu,” kata Bu Jentera sambil senyum sangat manis. Ya Tuhan, apakah Bu Jentera ini malaikat utusanmu, kata Sum dalam hati. Dengan gemetar Sum menerima uang itu. Tepat pada saat itu, Pak Nur Jentera tiba di rumah dari sepeda-an bersama persekutuannya. Ia langsung duduk dan mendengarkan cerita istrinya tentang rencana Sum.
”O, bagus, bagus,” kata Pak Jentera. Ia berdiri lalu tangan kanannya merogoh dompet di saku belakang.
”Mbak Sum mesti beli roti lain untuk tambahan. Kan anak-anak pasti akan datang, rame-rame. Nih, ada tambahan tiga ratus,” katanya dengan tenang. Sum hampir tak memercayai telinganya. Ya Tuhan, engkau begitu dermawan, jerit gembira hati Sum.
Hatinya bersorak-sorai. Ia pun lari ke Bapak Ketua Lingkungan menceritakan rencananya. Hujan pun turun, menderas.
”Apa boleh Bu Sum membawa tart masuk gereja, apalagi meletakkan tart itu di depan patung Kanak-Kanak Yesus di dalam Goa? Pak Koster pasti takut gerejanya kotor. Pastor paroki akan tanya, perayaan Natal dengan tart di depan Kanak-Kanak Yesus itu menurut ayat Kitab Suci yang mana, teologinya apa….”
Tanpa menggubris, Sum berangkat ke toko roti. Sebelumnya mampir ke rumah dulu, menemui suaminya, yang kebetulan tak nyopir. Uncok terdiam mendengar cerita Sum tentang Bapak Lingkungan. Sepi. Lama. Hati Uncok trenyuh. Laki itu merasa harus berbela rasa dengan istrinya. Apalagi ia membawa uang berlebih untuk beli seragam si Domble. Juga uang buat rokok.… Uncok, kemudian, mendekap istrinya.
”Selepas dari toko, pulang dulu,” kata lakinya. Sum tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya terkunci. Keharuan mendesak paru-paru dan tenggorokannya. Suaminya berubah tiba-tiba.
”Tuhaaan, hebatnya dikau. Berangkatlah,” kata suaminya, ”Pulangnya mampir ke rumah dulu sebelum ke gereja.”
Di toko roti, pelayan-pelayannya memandang dengan sebelah mata. Mereka tak percaya Sum punya uang untuk beli tart hampir empat ratus ribu.
”Tidak masuk akal,” kata Tanpoting, pemilik toko roti itu. Ketika Sum akhirnya mengeluarkan uang lebih dari harga tart, baru mereka percaya.
Pukul setengah empat sore Sum tiba di rumah. Alangkah kagetnya dia melihat goa dengan Kanak-Kanak Yesus di dalamnya sudah disiapkan lakinya di tengah rumah. Patung kecil-kecil itu rupanya dipinjam dari asrama para suster.
”Mereka memperkenankan aku memakai ini semua,” kata suaminya. Sum tak bisa berkata-kata apa-apa. Kegembiraan meluap.
”Taruhlah tart di sini,” kata Uncok, persis di depan Kanak-Kanak Yesus terbaring. ”Nanti malam, selesai Misa Natal, anak-anak kita undang ke rumah ini merayakan ulang tahunnya. Tak perlu di gereja. Mereka akan menyanyi panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia…. Lalu anak-anak akan menyantap tart. Biarlah rumah kita kotor, tapi ada senyum dan tawa meriah.”
Sum memeluk suaminya. Air matanya menetes karena haru. Persis hujan turun dengan sangat deras dan rumah sepasang merpati itu tiris di sana-sini, kecuali di atas tart. Seluruh rumah basah, lambah-lambah. Tapi, Sum dan Uncok tertawa terbahak-bahak sambil berpelukan. Si Domble pun ikut menari-nari sambil sesekali nyuri mencolek tart yang dibalut gula-mentega-cokelat yang lezat luar biasa. Patung Kanak-Kanak Yesus menatap mereka dengan senyum. Menjelang pukul sembilan malam, anak-anak langsung menyerbu rumah Sum dan Uncok selepas dari misa di gereja.
Mereka menari-nari di depan patung Kanak-Kanak Yesus dan tart. Kue-kue lainnya pun disiapkan. Anak-anak berebut membersihkan rumah yang basah dan kotor luar biasa.
Diam-diam Sum menatap pandangan mata anak-anak yang datang. Seperti bersinar, seperti bersinar… Sum berjongkok dan memeluk mereka satu demi satu. Sum tersedu karena haru dan bahagia….

Rabu, 14 November 2012

Lelaki Sepi


Ceritakan padaku tentang sepi, katamu. Ah, tapi sudah terlalu banyak cerita tentang sepi. Apakah masih akan menarik bercerita perihal yang telah berulang dikisahkan seperti itu? Lalu bagaimana membuat cerita seperti itu menarik? Memang tak ada yang menarik. Tapi kau telah memintanya dan aku senantiasa ingin menuruti kemauanmu. Maka biarlah kuceritakan saja.
Namanya tak penting benar. Atau setidaknya dalam kisah ini—bila kau menganggap perlu memberi sebuah nama untuknya—kau bisa memberinya nama sesuai dengan keinginanmu, tak akan berpengaruh apa-apa. Yang jelas, ia adalah lelaki yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Maka begitulah, ia senantiasa meminta kekasihnya untuk menemaninya. Ia tak bisa tidur tanpa ada dekap kekasihnya. Ia tak mampu menelan makanannya tanpa kekasihnya yang mengangsurkan suap. Ia tak sanggup mandi bila kekasihnya tak menuang air hangat dan menyiapkan handuk. Ia tak dapat keluar rumah jika kekasihnya tak menjemput. Sungguh, ia ingin senantiasa bersama kekasihnya. Setiap malam, sebelum benar-benar lelap dalam buai kekasihnya, ia berdoa agar esok terbangun dalam rahim kekasihnya, terbangun sebagai cikal janin yang tak akan pernah keluar dari perut ibunya. Selamanya jadi bakal janin. Selamanya bersama-sama kekasihnya. Selamanya merasa aman dalam nyaman lindungan kekasihnya. Ia mengira mencintai kekasihnya dan baginya begitulah cinta yang mesti diwujudkan.
Ia lelaki yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Sebab itulah ia senantiasa menulis puisi cinta buat kekasihnya. Ia berkata, ”selama aku masih mencintaimu, aku akan terus menulis puisi cinta untukmu.” Kau tak akan sanggup menghitung berapa banyak puisi yang ia tulis untuk kekasihnya. Ia juga sering berdoa, ”bila aku tak dapat tinggal di rahimnya, izinkan aku menjadi sebait puisi yang ia sukai, yang ia hafal, yang sering ia lantunkan. Aku ingin tinggal di lidahnya, menjadi sesuatu yang kerap ia sebut.” Ia menyangka mencintai kekasihnya dan tak ada cara lebih tepat menunjukkannya selain melalui puisi.
Ia lelaki yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Ia menganggap telah sempurna mencintai kekasihnya dan berharap kekasihnya melakukan hal serupa: mencintainya dengan sempurna pula. Dan kekasihnya memang mencintainya. Sangat mencintainya. Mencintai dengan cara yang berbeda dari yang ia yakini. Wanita itu mengerti bahwa ia tak sepenuh hati mencintai. Wanita itu paham mengapa si lelaki ingin senantiasa ditemani dan menulis puisi. ”Sungguh itu bukan cinta,” bisik wanita itu. ”Hanya yang takut pada sepi yang senantiasa ingin ditemani, hanya untuk membunuh sepi ia menulis beratus sajak cinta.” Barangkali inilah alasan wanita itu kerap terlihat malas-malasan menemani si lelaki berjalan di taman pagi-pagi atau membaca seantologi sajak dengan tebal ratusan halaman yang ditulis oleh lelaki kita dalam kisah ini.
Namun wanita itu memang mencintainya. Cinta yang membuat wanita itu bertahan dengan itu semua. Dan cinta pulalah yang pada akhirnya membuat wanita itu meninggalkan lelaki kita ini. Selalu ada yang mesti dikorbankan atau ikhlas berkorban dalam cinta bukan? Dan wanita itu memilih yang kedua: ikhlas berkorban. Ketika ketakutan akan sepi yang diderita lelaki kita kian hebat hingga bahkan dalam mimpi pun menuntut wanitanya untuk hadir dan menemani menulis atau membaca puisi, maka wanita itu merasa mesti ada yang dikerjakan untuk menyelamatkan kejiwaan lelaki kita ini. Bagaimana menyingkirkan rasa takut pada sepi bila tak langsung menantangnya? Maka demikianlah, wanita itu meninggalkan lelaki kita. Meninggalkannya sendiri dalam sepi, meninggalkannya sendiri untuk melawan sepi.
Maka kini lelaki kita sendirian. Merasa kesepian. Tak ada lagi yang membenarkan selimut selimut yang melorot ketika ia tidur. Tak ada yang mengambilkan nasi atau menjerang air buat mandinya. Tak ada senyum yang menemaninya menulis puisi, tak ada sorot lembut menatapnya. Tak ada semua yang selama ini membuatnya kuat. Ia merasa payah, merasa tak sanggup lagi melangkah.
Dan pada sebuah malam kesekian yang senantiasa menyiksanya dengan kenangan, ia melihat wajah bulan. Wajah yang berbeda dengan wajah-wajah bulan pada malam-malam sebelumnya. Wajah yang tergantung di langit itu serupa benar dengan wajah kekasih yang meninggalkannya. Ia segera keluar rumah. Menuju halaman dan berdiri diam di sana sambil mendongak ke atas, ke aras bulan bulat itu. Tiba-tiba lelaki kita ini ingin menulis sajak cinta lagi.
Tapi bulan sempurna bundar yang mirip wajah kekasih yang meninggalkan lelaki kita ini tak setiap hari bersinar. Pelan-pelan bulan akan mencengkung, membentuk sabit untuk kemudian benar-benar lenyap di ujung bulan penanggalan Jawa. Tapi bulan akan muncul lagi. Awalnya serupa noktah, lalu kembali membentuk sabit dan bundar sempurna pada tengah bulan dalam kalender Jawa. Dan ia merasa tak mampu menunggu begitu lama untuk melihat wajah indah itu. Maka ia berdoa agar bulan senantiasa purnama.
Namun bulan tak mungkin selalu purnama. Ada putaran musim, aliran angin, ketinggian air laut, masa panen dan tanam, sampai waktu laku ilmu tertentu yang bergantung pada rotasi dan evolusi bulan. Semua mesti berjalan sesuai kodratnya. Maka sekhusyuk apa pun lelaki itu berdoa, bulan akan tetap mengalami sabit, melalui bulan mati dan pasti kembali purnama tengah bulan.
Lelaki kita itu, sungguh keras hati kali ini. Ia tak ingin lagi ditinggal kekasihnya. Ia ingin menjadi yang pertama menyambut ketika wajah kekasihnya itu perlahan sembul dan ingin menjadi yang terakhir mengucap sampai jumpa sewaktu kekasihnya beranjak redup. Ia memutuskan tak bergerak dari halaman bahkan saat mentari terbit. Kau tahu, kadang-kadang kau masih bisa menyaksikan bulan menjelang siang walau sinarnya tenggelam dalam pancaran matahari. Bagimu mungkin itu tak penting. Namun lelaki kita ini menganggapnya sesuatu yang haram terlewatkan. Kalau kau pernah mendengar orang-orang tua berujar bahwa cinta bisa membuat seseorang menjadi bodoh dan melakukan hal-hal yang tak masuk akal, maka lelaki kita ini adalah amsal ujaran itu. Ia tak beranjak dari halaman, berhari-hari, berminggu- minggu selain untuk makan atau buang air.
Namun langit tak hanya menyimpan wajah indah kekasihnya yang hilang atau kilau cerlang bintang-bintang. Langit juga mempunyai mendung dan hujan, kilat dan badai, matahari dan cahaya panas. Tak ada yang mampu menghentikan mereka menjalankan tugas. Maka beginilah, selama beberapa malam mendung tebal tergantung di langit untuk kemudian tumpah menjadi hujan dan badai, menabur kilat dan dingin. Namun pada siang harinya, matahari bersinar teramat cerah, mendedah panas yang menyiksa. Kejadian seperti itu terjadi pada tengah bulan hitung-hitungan Jawa. Pada masa di mana semestinya purnama terlihat sempurna.
Lelaki itu tak juga beranjak. Telah lama ia memendam rindu. Hitunglah sendiri berapa lama ia tak bersua wajah kekasihnya itu setelah tengah bulan kemarin purnama yang terakhir. Badai yang menghajar tubuhnya malam-malam atau panas yang meremas tubuhnya tak membuatnya bergerak. Ia kecewa sebab mendung tebal menghalanginya melihat wajah indah bulan dan berharap langit kembali ramah segera. Namun langit cerah ketika pagi telah sepenggalan dan bulan tak lagi terlihat. Ia tetap tak bergerak. Berharap keajaiban, berharap bulan kesiangan.
Ia telah lama bertahan. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Ia hanya masuk ke rumah untuk makan dan minum dengan tergesa dan buru-buru kembali ke halaman. Ia kuat. Tapi tidak kali ini. Tiga malam dihajar badai dan tiga hari digempur panas yang sangat. Ia merasa tubuhnya lemas dan panas. Pada malam keempat ia jatuh. Ia mengira tertidur. Ia seperti bermimpi.
Ia melihat kekasih yang meninggalkannya dulu telah menjelma bulan. Bulan yang senantiasa ia nanti. Bulan itu tak tergantung di langit seperti yang selama ini ia lihat. Bulan itu begitu dekat dengannya, bahkan menyatu dengan dirinya. Terletak di hatinya. Bulan itu berkata, ”kalau kau benar-benar mencintaiku, kau akan tahu bahwa aku selalu menemanimu tanpa harus mendekap tidurmu, menyiapkan air hangatmu atau mengangsurkan suapanmu. Kau akan tahu bahwa aku selalu bersamamu sebab aku tinggal di hatimu dan senantiasa di sana. Aku tak pernah ke mana-mana.”
Lelaki kita itu ingin bangun. Tapi tak bisa. Tubuhnya tak dapat bergerak. Maka ia putuskan untuk pergi tanpa tubuhnya. Pergi menuju hatinya yang menyimpan bulan. Ia lihat tubuhnya telah begitu payah.

Jumat, 26 Oktober 2012

Kunang-kunang dalam Bir


Di kafe itu, ia meneguk kenangan. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi, benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima. Itulah yang menggelisahkannya, karena ia tahu segalanya tak pernah lagi sama. Segalanya tak lagi sama, seperti ketika ia menciumnya pertama kali dulu.
Dulu, ketika dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas buah dada. Saat itu ia yakin: ia tak mungkin bisa bahagia tanpa dia. ”Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….” Kata-kata itu kini terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi itu. I just called to say I love you….
Tapi mengapa bukan sendu lagu itu yang ia katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu? Mestinya saat itu ia tak membiarkan dia pergi. Tak membiarkan dia bergegas meninggalkan kafe ini dengan kejengkelan yang akhirnya tak pernah membuatnya kembali.
Waktu bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaannya. Kenangannya. Itulah yang membuatnya selalu kembali ke kafe ini. Kafe yang seungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama dalam kenangannya. Ya, selalu ke kafe ini ia kembali. Untuk gelas bir ketiga yang bisa menjadi keempat dan kelima. Seperti malam-malam kemarin, barangkali gelas bir ini pun hanya akan menjadi gelas bir yang sia-sia jika yang ditunggu tidak juga tiba.
”Besok kita ketemu, di kafe kita dulu….”
Ia tak percaya bahwa dia akhirnya meneleponnya.
”Kok diam….”
”Hmmm.”
”Bisa kita ketemu?”
”Ya.”
”Tunggu aku,” dia terdengar berharap. ”Meski aku tak yakin bisa menemuimu.”
Tiba-tiba saja ia berharap kali ini takdir sedikit berbaik hati padanya: semoga saja suaminya mendadak kena ayan atau terserang amnesia, hingga perempuan yang masih dicintainya itu tak merasa cemas menemuinya.
Menemui? Apakah arti kata ini? Yang sangat sederhana, menemui adalah berjumpa. Tapi untuk apa? Hanya untuk sebuah kenangan, atau adakah yang masih berharga dari ciuman-ciuman masa lalu itu? Masa yang harusnya mereka jangkau dulu. Dulu, ketika ia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas dada. Ketika ia yakin, ia tak mungkin bahagia tanpa dirinya.
Ah, ia jadi teringat pada percakapan-percakapan itu. Percakapan di antara ciuman-ciuman yang terasa gemetar dan malu-malu.
”Aku selalu membayangkan, bila nanti kita mati, kita akan menjelma sepasang kunang-kunang.”
Dia tersenyum, kemudian mencium pelan. ”Tapi aku tak mau mati dulu.”
”Kalau begitu, biar aku yang mati dulu. Dan aku akan menjadi kunang-kunang, yang setiap malam mendatangi kamarmu….”
”Hahaha,” dia tertawa renyah. ”Lalu apa yang akan kamu lakukan bila telah menjadi kunang-kunang?”
”Aku akan hinggap di dadamu.”
Dada yang membusung. Dada yang kini pasti makin membusung karena sudah dua anak menyusuinya. Pun dada yang masih ia rindu. Dada yang sarat kenangan. Dada yang akan terlihat mengilap ketika seekor kunang-kunang hinggap di atasnya.
”Kunang-kunang…mau ke mana? Ke tempatku, hinggap dahulu….”
Ia bersenandung sambil membuka satu per satu kancing seragam. Dia yang hanya memejam. Ia seperti melihat seekor kunang-kunang yang perlahan keluar dari kelopak matanya yang terpejam. Seperti ada kunang-kunang di keningnya. Di pipinya. Di hidungnya. Di bibirnya. Di mana-mana. Kamar penuh kunang- kunang beterbangan. Tapi tak ada satu pun kunang-kunang hinggap di dadanya pualam. Dada itu seperti menunggu kunang-kunang jantan.
Ia selalu membayangkan itu. Sampai kini pun masih terus membayangkannya. Itulah yang membuatnya masih betah menunggu meski gelas bir ketiga sudah tandas. Selalu terasa menyenangkan membayangkan dia tiba-tiba muncul di pintu kafe, membuat ia selalu betah menunggu meski penyanyi itu telah terdengar membosankan menyanyikan lagu-lagu yang ia pesan.
Ia hendak melambai pada pelayan kafe, ingin kembali memesan segelas bir, ketika dilihatnya seekor kunang-kunang terbang melayang memasuki kafe. Kemudian kunang-kunang itu beterbangan di sekitar panggung. Di sekitar kafe yang ingar bingar namun terasa murung. Murung menapak geliat lidah pada tiap jeda tubuhnya. Murung mengharap tiap geliat di liat tubuhnya mengada. Lagi. Di sini. Menjadi nanti.
Adakah kunang-kunang itu pertanda? Adakah kunang-kunang itu hanya belaka imajinasinya? Penyanyi terus menyanyi dengan suara yang bagai muncul dari kehampaan. Dan kafe yang ingar ini makin terasa murung. Tiba-tiba ia menyaksikan ribuan kunang-kunang muncul dari balik keremangan, beterbangan memenuhi panggung. Hingga panggung menjadi gemerlapan oleh pendar cahaya kunang-kunang yang berkilau kekuningan.
Gelas birnya sudah tidak berbusa. Hanya kuning yang diam. Tidak seperti kunang-kunang beterbangan gemerlapan berpendar kekuningan. Kuning di gelas birnya mati. Sementara kuning di luar birnya gemerlapan. Hidup. Ia jadi teringat pada percakapan mereka dulu. Dua hari sebelum dia memilih hidupnya sendiri. Percakapan tentang bir dan kunang-kunang.
”Aku menyukai bir, seperti aku menyukai kunang-kunang,” ia berkata, setelah ciuman yang panjang. ”Warna bir selalu mengingatkanku pada cahaya kunang-kunang. Dan kunang-kunang selalu mengingatkanku kepadamu.”
”Kenapa?”
”Karena di dalam matamu seperti hidup ribuan kuang-kunang. Aku selalu membayangkan ribuan kunang-kunang itu berhamburan keluar dari matamu setiap kau merindukanku.”
”Tapi aku tak pernah merindukanmu.” Dia tersenyum.
”Bohong….”
”Aku tak pernah membohongimu. Kamu yang selalu membohongiku.”
Ia memandang nanar. Seolah tidak yakin apa yang ia dengar salah atau benar. Bohong baginya adalah dusta yang direncanakan. Sementara apa yang ia lakukan dulu adalah pilihan. Dan pilihan hanyalah satu logika yang terpaksa harus diseragamkan. Oleh banyak orang. Olehnya….
”Tidak. Aku tidak bohong.”
”Semakin kau bilang kalau kau tidak bohong, semakin aku tahu kalau kamu berbohong.”
Ia tak menjawab. Tapi bergegas menciumnya. Rakus dan gugup. Begitulah selalu, bila ia merasa bersalah karena telah membohonginya. Seolah ciuman bisa menyembunyikan kebohongannya. Tapi ia tak bohong kalau ia bilang mencintainya. Ia hanya selalu merasa gugup setiap kali nada suaranya terdengar mulai mendesaknya. Karena ia tahu, pada akhirnya, setelah percakapan dan ciuman, dia pasti akan bertanya: ”Apakah kau akan menikahiku?”
Ia menyukai ciuman. Tapi, sungguh, ia tak pernah yakin apakah ia menyukai pernikahan. Kemudian ia berteka-teki: ”Apa persamaan bir dengan kunang-kunang?” Dia menggeleng.
Keduanya akan selalu mengingatkanku padamu. Bila kau mati dan menjelma jadi kunang-kunang, aku akan menyimpanmu dalam botol bir. Kau akan terlihat kuning kehijauan. Tapi kita tak akan pernah tahu bukan, siapa di antara kita yang akan menjadi kunang-kunang lebih dulu? Kita tak akan pernah bisa menduga takdir. Kita bisa meminta segelas bir, tetapi kita tak pernah bisa meminta takdir.
Seperti ia tak pernah meminta perpisahan yang getir.
”Aku mencintaimu, tapi rasanya aku tak mungkin bahagia bila menikah denganmu….”
Hidup pada akhirnya memang pilihan masing-masing. Kesunyian masing-masing. Sama seperti kematian. Semua akan mati karena itulah hukuman yang sejak lahir sudah manusia emban. Tapi manusia tetap bisa memilih cara untuk mati. Dengan cara wajar ataupun bunuh diri. Dengan usia atau cinta. Dengan kalah atau menang?
Pada saat ia tahu, bahwa pada akhirnya perempuan yang paling ia cintai itu benar-benar menikah—bukan dengan dirinya—pada saat itulah ia menyadari ia tak menang, dan perlahan-lahan berubah menjadi kunang-kunang. Kunang-kunang yang mengembara dari kesepian ke kesepian. Kunang-kunang yang setiap malam berkitaran di kaca jendela kamar tidurnya. Pada saat itulah ia berharap, dia tergeragap bangun, memandang ke arah jendela, dan mendapati seekor kunang-kunang yang bersikeras menerobos kaca jendela. Dia pasti tahu, betapa kunang-kunang itu ingin hinggap di dadanya. Sementara suaminya tertidur pulas di sampingnya.
”Aku memilih menikah dengannya, karena aku tahu, hidup akan menjadi lebih mudah dan gampang ketimbang aku menikah denganmu.”
Itulah yang diucapkannya dulu, di kafe ini, saat mereka terakhir bertemu.
”Jangan hubungi aku!”
Lalu dia menciumnya. Lama. Bagi ia, ciuman itu seperti harum bir yang pernah terhapus dari mulutnya.
Barangkali, segalanya akan menjadi mudah bila saat itu diakhiri dengan pertengkaran seperti kisah dalam sinetron murahan. Misal: dia menamparnya sebelum pergi. Memaki-maki, ”Kamu memang laki-laki bajingan!” Atau kata-kata sejenis yang penuh kemarahan. Bukan sebuah ciuman yang tak mungkin ia lupakan.
Dan kini, seperti malam-malam kemarin, ia ada di kafe kenangan ini. Kafe yang harum bir. Kafe yang mengantarkannya pada sebuah ciuman panjang di bibir. Kafe yang selalu membuatnya meneguk kenangan dan kunang-kunang dalam bir. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima?
Ini gelas bir keenam!
Dan ia masih menunggu. Ia melirik ke arah penyanyi itu, yang masih saja menyanyi dengan suara sendu. Ia melihat pelayan itu sudah setengah mengantuk. Tinggal ia seorang di kafe. Barangkali, bila ia bukan pelanggan yang setiap malam berkunjung, pasti pelayan itu sudah mengusirnya dengan halus. Sudah malam, sudah tak ada lagi waktu buat meneguk kenangan.
Pada gelas kedelapan, akhirnya ia bangkit, lalu memanggil pelayan dan membayar harga delapan gelas kenangan yang sudah direguknya habis. Ya, malam pun hampir habis. Sudah tak ada waktu lagi buat kenangan. Sudah tidak ada kenangan dalam gelas bir kedelapan. Setiap kenangan, pada akhirnya punya akhir bukan? Inilah terakhir kali aku ke kafe ini, batinnya. Besok aku tak akan kembali. Kemudian ia beranjak pergi.
***
Malam makin mengendap. Tamu terakhir sudah pergi. Diam dan setengah mengantuk, para pelayan kafe membereskan kursi. Bartender merapikan gelas-gelas yang bergelantungan. Sebentar lagi penjaga malam akan menutup pintu.
Pada saat itulah, terlihat seekor kunang-kunang memasuki kafe. Kunang-kunang itu terbang melayang berputaran, sebelum akhirnya hinggap di gelas bir yang telah kosong.

Selasa, 21 Agustus 2012

Lukisan Kematian


Di kampung kami ada seorang pelukis yang unik. Dia hanya akan melukis wajah manusia yang telah sampai pada ajalnya. Orang kampung kami menyebut lukisannya: lukisan kematian. Ada juga yang menyebutnya: lukisan keabadian. Ada juga yang menyebutnya: lukisan kenangan. Sedang aku lebih suka menyebutnya: lukisan misteri kematian.
Dua hari yang lalu, seorang perempuan setengah baya memintanya membuat lukisan seorang lelaki yang sudah cukup tua, berkumis tebal, mengenakan kopiah warna hitam dengan ornamen tambahan yang mengantarnya menemui ajalnya. Ornamen itu berupa sebuah mobil yang ringsek sebab tertabrak truk tronton. Mobil itu berdiri gagah di samping lelaki yang tampak sedang tersenyum kecut. Senyum yang seolah-olah telah memisahkannya dengan perempuan setengah baya itu: istrinya.
Pada hari ketiga setelah lusa, perempuan setengah baya itu datang kembali, mengambil lukisan yang dipesannya. Dia gembira sekali sebab di dalam lukisan itu, suaminya tampak gagah seperti masa mudanya, laksana seorang laksmana. Berdiri di puncak kariernya menjadi manajer perusahaan di samping mobil dinasnya.
”Lukisan ini akan menjadi catatan sejarah bagi kehidupan dan juga akhir kejadian kematian suamiku,” katanya kepada pelukis itu. Pelukis itu tersenyum.
”Lho, tapi Mas, kok…….!” Perempuan itu kaget. Tiba-tiba seperti sadar dengan apa yang dilihatnya pada lukisan. ”Ini kok, mobilnya utuh?” Pelukis itu hanya diam. ”Saya kan memesan lukisan suami saya setelah kejadian. Sebab kecelakaan itu, mobilnya ringsek dan suamiku mati. Lukisan wajah suami saya yang gagah itu, benar, tetapi, ornamen mobilnya? Harusnya sudah ringsek.”
Dengan tenang, pelukis itu menjawab. ”Mudah kok, Bu. Kalau Ibu mau melihat ornamen mobil yang ringsek, pandang saja mobil itu, ringsek. Imajinasikan pikiran Ibu akan peristiwa kecelakaan itu, maka, mobil itu akan kelihatan ringsek sendiri. Tentunya, ya, dalam kacamata kenangan.”
”Apa cukup semudah itu?”
”Coba saja! Sekarang, enyahlah agak jauh dari lukisan! Lalu, pikiran Ibu harus difokuskan pada peristiwa kecelakaan itu.”
Setelah menjauh dari lukisan, perempuan itu tersenyum. Ornamen mobil itu dilihatnya ringsek betulan. Sebab imajinasinya yang tajam, atau keunikan lukisan? Entahlah. Yang pasti, pelukis itu telah membuatnya tersenyum, tanda puas.
Dua hari berikutnya, seorang lelaki datang padanya untuk mengambil lukisan pesanannya. Di dalam lukisan itu, ada seorang kakek yang berdiri gagah di sawah. Sebuah cangkul dipegangnya. Akunya, sawah dan cangkul adalah tempat terakhir yang dikunjungi kakek itu. Dan, kakek yang dipanggilnya ayah itu, menemui ajalnya di kamar, di kamar mandi, sepulangnya dari sawah.
”Parmin, Ayah mau mandi, lantas istirahat. Itu nanti, sawah diteruskan nyangkulnya, ya,” pintanya.
Eh, setelah itu, lama tak keluar-keluar, pintu didobraknya. Hatinya tersentak. Ditemuinya, Ayahnya telah tiada.
”Kenapa kamu mau mengabadikan gambar ayahmu?” tanya si pelukis.
”Ayahku adalah pahlawan dalam hidupku.”
”Ibumu?”
”Sejak kecil, aku tak punya ibu. Jadi, ibu hanya pahlawan dalam angan-angan,” katanya, lalu pergi.
Beberapa hari berikutnya, semakin sibuk ia melayani pesanannya. Bagaimana tidak? Lukisannya sangat mengagumkan. Lukisannya berkesan seperti nyata. Lukisannya menjadi kenangan yang terabadikan. Apalagi, ongkos pembuatan lukisan itu terbilang tidak mahal. Ia hanya ingin membagi apa yang bisa ia kerjakan, kepada sesamanya. Baginya, ya, dengan melukis. Ia tidak memasang tarif untuk sebuah lukisan yang telah diselesaikannya. Baginya melukis adalah sarana penyaluran imajinasi yang bercampur baur dengan carut-marut kehidupan. Seakan-akan ia mengerti apa yang diinginkan pemesannya. Meskipun begitu, justru, tak jarang, ia menerima uang lebih dari pemesannya. Mereka tampak merasakan kepuasan tersendiri atas garapannya yang mengagumkan.
Sebagai teman sebayanya, sering pula aku bermain ke rumahnya. Aku pun mengagumi kecanggihannya dalam melukis. Lukisan yang digarapnya berlatar belakang kematian. Memang, setiap kali ia melukis, lukisannya seperti nyata dan seolah-olah menyimpan sejarah yang bermakna.
Suatu waktu, aku berkesempatan untuk bertanya kepadanya. Lukisannya tampak hidup dan bugar. Mengagumkan. Seakan-akan, wajah-wajah kematian yang dilukisnya, hidup kembali. Ada ruh di dalamnya, menggetarkan jiwa setiap orang yang melihatnya. Maka, tak khayal kalau hanya dalam waktu beberapa bulan, reputasinya sebagai pelukis handal, mencuat sampai ke luar daerah. Bahkan, sampai lingkup antarkota. Namanya banyak dikenal massa.
Sarjo. Begitu, aku memanggilnya. Dulu, kami satu kelas, ketika belajar di bangku sekolah dasar. Menginjak lanjutan, ia merantau. Ketika aku mulai kuliah, ia pulang. Sejak itu, ia mulai berkecimpung dalam dunia lukis. Kabarnya, dari perantauan itu, ia belajar melukis. Ketika aku dilantik sarjana, orang tua satu-satunya; ayahnya, meninggal. Ia mengabadikan wajah ayahnya dalam lukisan. Ibunya, hanyalah angan-angan yang tak pernah bisa terungkapkan keberadaannya.
”Kenapa kamu tidak melukis keindahan alam saja?”
”Aku tak suka bersaingan dengan Tuhan. Biarkan orang itu melihat kenyataan saja. Alam yang diciptakan Tuhan itu lebih indah dan mampu mendekatkan hati seseorang kepada-Nya.”
”Tapi, kamu malah melukis wajah-wajah kematian?”
”Kenapa, emang?” Aku diam.
”Kuabadikan ayah dalam lukisan. Aku selalu mengingatnya, bagaimana laut itu membekukan darah dalam tubuhnya.”
Aku diam saja. Terharu.
”Kamu tahu?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala. ”Lukisan itu adalah pusara ayah. Aku selalu berziarah padanya. Aku kirimkan surat Al Fatihah kepadanya. Lukisan itu, pengganti pusara ayah di laut.”
Hampir, air mataku copot dan meleleh dari kebekuannya.
”Lalu bagaimana dengan ibumu?”
”Aku tak pernah mengerti bagaimana wajah ibu. Ayah hanya pernah bercerita, kalau aku ini anak jadah. Dan ayah tak pernah menjelaskan apa maksud ’anak jadah’ itu. Akhirnya, kukatakan kalau ibuku tak pernah ada. Ibuku sendiri adalah ayah. Dia yang mengasuhku sejak kecil. Maka, di dalam lukisan itu, ada ibuku juga. Ibu yang tampak hanya dari wilayah imaji rasa. Ketika aku mendoakan ayah, artinya aku pun mendoakan ibu.”
Sebab tak tahan, airmataku menetes. Sembab. Aku bersyukur, aku masih punya ibu. Masih punya ayah.
”Mengapa kamu menangis?” tanyanya heran. Aku diam saja. Lidahku kelu.
”Sudahlah. Aku telah terbiasa dengan itu. Makanya, aku suka melukis wajah-wajah kematian. Alasannya mudah saja. Aku ingin lukisan-lukisanku, menjadi pusara juga bagi mereka, mengingatkan mereka akan misteri kematian. Dan mereka akan banyak berziarah atau sekadar mengirimkan surat Al Fatihah, serta doa-doa kepada sosok di balik lukisan.”
”Mulia sekali niatmu.”
”Jangan memuji. Ini tak lebih indah dari mengorek sampah.”
”Maksudmu?”
”Tak ada nilainya.| Aku tersenyum. Dia pun tersenyum.
”Banyak sekali pesananmu sekarang?”
”Seperti yang kau lihat.”
”Boleh, aku melihatnya?” Dia mengangguk.
Lukisan-lukisan itu kulihat satu-satu. Lukisan pertama, seorang lelaki muda sedang duduk di taman, bersama seorang perempuan sebayanya. Lelaki itu memegang sebilah pisau. Dari kejauhan, aku melihat misteri kejadian kematian lelaki. Ditusukkannya pisau itu tepat ke jantungnya sendiri. Perempuan itu berbicara samar-samar. Bahkan, dia membiarkan kematian si lelaki. Pikirku, itu kisah ’cinta gila’, di mana perempuannya sama gilanya dengan lelaki, lelaki yang rela mati hanya untuk pembuktian cintanya.
Lukisan kedua, lukisan ketiga, lalu lukisan keempat, kulihat sebentar saja. Hanya dari dekat. Sebab, tiba-tiba aku merasa muak dengan kisah sejarah di balik gambar dalam lukisan. Pikirku, segala misteri dalam lukisan itu, semuanya memiriskan. Aku terlalu takut dan trauma.
Mendapati lukisan lain, aku tercengang. Lukisan itu dibungkus kain putih serupa kafan. Wajah dalam lukisan itu sendiri, seperti, aku telah mengenalnya. Warna kulitnya saja yang tampak terlalu putih, seolah-olah tak ada merah darah di dalamnya. Serupa jenazah. Kutatap lekat lukisan itu. Seperti sketsa lukisan yang pernah kulihat sebelumnya. Hanya ada wajahnya dan wajah laut. Aku ingat, lukisan itu seperti sebuah lukisan yang dianggap pusara olehnya. Lukisan ayahnya. Lukisan yang berlatar belakang laut. Apa artinya?
Kulihat sekeliling ruangan, dia telah tiada. Kupanggil dia, tak ada suara. Aku keluar ruangan. Keluar dari rumahnya. Berjalan menuju laut yang jaraknya terbilang dekat. Sepuluh menit aku sampai. Tak ada apa-apa. Laut sepi. Aku pulang ke rumah.
Aku menjadi khawatir sekali kepadanya. Jangan-jangan? Banyak tanda tanya berloncat-loncatan dalam pikiran.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kudengar ada berita menggemparkan dari laut. Aku berlarian menuju laut. Ada kerumunan orang di laut. Aku masuk ke dalamnya. Ada mayat. Ada mayat. Kulitnya putih sekali. Kulihat wajahnya. Aku tak sempat berpikir, semua akan berakhir di sini. Wajahnya? Oh, tidak…..!
Aku ingat sebuah lukisan. Lukisan itu seperti lukisan ayahnya. Lukisan itu pusara dirinya. Kuambil lukisan itu dan kupajang di kamar. Seperti yang pernah dikatakannya, ia sering mengirimkan surat Al Fatihah kepada ayahnya. Maka, aku pun demikian, akan menirunya.

About Me

Foto Saya
Diana Putri Maharani
Madiun, Jawa Timur, Indonesia
I become a better writer by writing. I become a better travel writer by writing about travel. I'm addicted to ice cream and chocolate.
Lihat profil lengkapku